KEKERASAN KAK ROS DAN KLAIM MALAYSIA TERHADAP BUDAYA INDONESIA
Tidak dipungkiri bahwa saat ini Upin Ipin, serial animasi impor asal Malaysia tersebut, masih menjadi tontonan favorit anak-anak dan orang tua Indonesia. Termasuk keluarga kecil saya. Ratingnya sangat bagus dan bertahan selama lebih dari satu dasawarsa. Makanya tidak heran, MNCTV selaku pemegang hak siar di Indonesia menyediakan tiga slot penayangan, yakni pagi, siang, dan malam.
Selain segmen penonton lebih luas, serial ini dianggap tontonan edukatif di tengah berjibunnya tontonan televisi Indonesia yang ‘kurang bergizi’. Melalui pengembaraan dua anak kembar ini bersama Opah, Kak Ros, Atok, dan kawan-kawan sebayanya, banyak nilai-nilai karakter bisa diambil. Terlebih lagi serial ini tidak mengesankan menggurui penonton, mengalir seolah-olah kisah nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Meski begitu, serial Upin-Ipin memiliki beberapa catatan serius yang perlu ditindaklanjuti. Pertama, perihal kekerasan fisik yang dilakukan Kak Ros terhadap Upin Ipin. Memang lumrah terjadi pertengkaran kecil sesama saudara dalam sebuah kekeluarga. Terlebih lagi Kak Ros (bersama Opah) berposisi menjadi kakak sekaligus orang tua untuk Upin Ipin yang yatim piatu. Dalam menghadapi kenakalan adik-adiknya, Kak Ros memang diuji kesabarannya. Meski begitu, reaksi Kak Ros tidak perlu diekspresikan dengan kekerasan. Banyak cara lain bisa diekspresikan.
Hampir setiap episode kekerasan tersebut dapat kita jumpai. Misalnya, pada episode Bijak Sifir, Kak Ros mengajak Upin Ipin untuk belajar berhitung lagi pada malam hari karena adik-adiknya dapat nilai nol pada pelajaran berhitung. Namun, Upin menolaknya karena malas. Akhirnya kekerasan fisik terjadi. Teriakan tangis Upin sama keras bunyinya dengan suara kompor yang baru dinyalakan Opah. Pada episode lain juga begitu, bahkan pipi dan telinga Upin Ipin meninggalkan bekas merah akibat kekerasan yang dilakukan kakaknya. Sesekali kekerasan tersebut dialihkan dengan ciamiknya sinematografi. Mirisnya anak saya pun bertanya, “Kenapa Kak Ros itu, Pa?” Bingung saya menjawabnya.
Hal tersebut sebaiknya juga menjadi concern dari pihak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Itu lebih baik daripada mengeluarkan pernyatan “berenang di kolam renang bisa menyebabkan kehamilan”. Pihak KPAI perlu ‘mengawasi’ semua serial animasi dan Konten-konten lain di semua platform apakah mengandung kekerasan khususnya pada anak atau tidak. Itu penting karena hal tersebut berpotensi bisa direkam bawah alam sadar dan diimitasi oleh anak sehingga menyebabkan kekerasan pada masa yang mendatang. Itu akan menjadi berbahaya jika ada pembiaran pihak berwewenang sehingga anak-anak mengambi kesimpulan bahwa kekerasan yang dilakukan saudara tua terhadap lebih muda adalah sah-sah saja. Tentunya KPAI perlu berkolaborasi dengan pihak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang juga memiliki tupoksi pengawasan terhadap pertelevisian Indonesia. Mereka diharapkan perlu proaktif terhadap hal tersebut agar tidak hanya fokus memberikan sensor aurat wanita saja. Untuk itu, harapannya serial Upin Ipin tidak mempertontonkan kekerasan lagi.
Kedua, melalui serial animasi Upin Ipin ada upaya klaim secara halus terhadap beberapa warisan budaya tak benda Indonesia, seperti wayang kulit dan keris, sebagai warisan budaya Malaysia. Telah kita ketahui bersama, bahwa pada tahun 2010 UNESCO, organisasi PBB yang bergerak di bidang pendidikan, kelimuan, dan kebudayaan, telah menetapkan wayang, keris, dan batik sebagai warisan budaya tak benda Indonesia. Namun, pada episode Wayang Kulit dan Keris Siamang secara eksplisit dua warisan budaya tersebut diklaim sebagai warisan leluhur Malaysia. Pada episode Wayang Kulit, saat itu Atok Dalang bersama Upin Ipin sedang membongkar barang-barang lama di gudang rumahnya. Kemudian mereka menemukan beberapa benda kuno. Satu di antaranya sebuah keris kuno. Lalu antara Upin Ipin dan Atok Dalang terjadi percakapan mengenai keris tersebut. Di akhir percakapan mereka, Atok Dalang memberikan pesan kepada dua kembar, ‘’Kita harus menjaga itu semua karena itu warisan nenek moyang kita.’’ Pesan tersebut juga bisa ditangkap pada episode Wayang Kulit.
Itu adalah cara klaim yang halus yang memiliki efek jangka panjang. Melalui dua episode tersebut, yang ditayangkan berulang-ulang, serial Upin Ipin telah memberikan doktrinasi terhadap jutaan anak-anak yang setia menonton serial tersebut bertahun-tahun. Doktrinnya berupa negasi bahwa wayang dan keris adalah warisan bangsa Indonesia. Ketika mereka sudah dewasa di dalam pikiran mereka bahwa keris dan wayang adalah warisan nenek moyang Malaysia. Itu pasti berbahaya.
Anehnya episode yang telah ditayangkan berulang-ulang tersebut tidak mendapat penolakan dari pihak pemerintah yang menangani kebudayaan, LSM, dan lapisan masyarakat Indonesia lainnya. Hal itu kontras jika kita mengingat beberapa tahun silam, ketika banyak lapisan mayarakat Indonesia bereaksi kepada Negeri Jiran yang telah mengklaim budaya Indonesia. Bahkan, reaksinya ada yang sampai membakar bendera negara. Padahal, penayangan episode wayang dan keris lebih gaat karena telah berpotensi meracuni jutaan anak Indonesia. Pihak MNCTV sebagai televisi pemegang hak siar pun sepertinya tidak memberikan kontrol terhadap tayangan tersebut. Mereka tetap menayangkan episode tersebut sampai kini. Mungkin jika sudah dikomulatifkan sudah berpuluh kali.
Untuk itu, pemerintah diharapkan perlu melayangkan protes agar pengklaiman seperti itu dilakukan lagi. Videonya perlu di-take down agak tidak diakses lagi anak Indonesia. Pihak MNCTV pun perlu tidak menyangkan lagi dua episode tersebut. Setidaknya itu adalah bagian upaya untuk menjaga budaya Indonesia.
Beberapa catatan tentang serial Upin Ipin di atas cukup disayangkan mengingat serial animasi tersebut sudah bertahan samapai lebih dari satu dasa warsa. Konten nya pun sangat bagus sebagai media untuk penanaman karakter anak-anak. Serial Upin Ipin tetap menjadi tontonan edukatif anak-anak Indonesia.
Comments
Post a Comment